Waktu di jam dinding menunjukkan sudah pukul 7.30, namun Bobby belum juga datang. Dalam hati kecilku, Jangan-jangan Bobby mau bermalam di kampungnya, aku tidak mungkin bermalam berdua dengan istrinya di rumah ini. Saya lalu teriak minta pamit saja dengan alasan nanti besok saja ketemunya, tapi istri Bobby berteriak melarangku dan katanya,
“Tunggu dulu pak, nasi yang saya masak buat bapak sudah matang. Kita makan bersama saja dulu, siapa tahu setelah makan Bobby datang, kan belum juga larut malam, apalagi kita baru saja ketemu,” katanya penuh harap agar aku tetap menunggu dan mau makan malam bersama di rumahnya.
Tak lama kemudian, iapun keluar memanggilku masuk ke ruang dapur untuk menikmati hidangan malamnya. Sambil makan, kamipun terlibat pembicaraan yang santai dan penuh canda, sehingga tanpa terasa saya sempat menghabiskan dua piring nasi tanpa saya ingat lagi kalau tadi saya bilang sudah kenyang dan baru saja makan di rumah. Malu sendiri rasanya.
“Bapak ini nampaknya masih muda. Mungkin tidak tepat jika aku panggil bapak kan? Sebaiknya aku panggil kak, abang atau Mas saja,” ucapnya secara tiba-tiba ketika aku meneguk air minum, sehingga aku tidak sempat menghabiskan satu gelas karena terasa kenyang sekali.
Apalagi saya mulai terayu atau tersanjung oleh seorang wanita muda yang baru saja kulihat sepotong tubuhnya yang mulus dan putih? Tidak, saya tidak boleh berpikir ke sana, apalagi wanita ini adalah istri teman lamaku, bahkan rasanya aku belum pernah berpikir macam-macam terhadap wanita lain sebelum ini.
Aku kendalikan cepat pikiranku yang mulai miring. Siapa tahu ada setan yang memanfaatkannya.
“Bolehlah, apa saja panggilannya terhadapku saya terima semua, asalkan tidak mengejekku. Hitung-hitung sebagai panggilan adik sendiri,” jawabku memberikan kebebasan.
“Terima kasih Mas atas kesediaan dan keterbukaannya” balasnya.
Setelah selesai makan, aku lalu berjalan keluar sambil memandangi sudut-sudut ruangannya dan aku sempat mengalihkan perhatianku ke dalam kamar tidurnya di mana aku melihat tubuh terbaring t*npa b*sana tadi. Ternyata betul, wanita itulah tadi yang berbaring di atas tempat tidur itu, yang di depannya ada sebuah TV kira-kira 21 inc.
Jantungku tiba-tiba berdebar ketika aku melihat sebuah celana kolor tergeletak di sudut tempat tidur itu, sehingga aku sejenak membayangkan kalau wanita yang baru saja saya temani bicara dan makan bersama itu kemungkinan besar tidak pakai celana, apalagi yang saya lihat tadi mulai dari pinggul hingga ujung kaki t*npa b*sana. Namun pikiran itu saya coba buang jauh-jauh biar tidak mengganggu konsentrasiku.
Setelah aku duduk kembali di kursi tamu semula, tiba-tiba aku mendengar suara TV dari dalam, apalagi acaranya kedengaran sekali kalau itu yang main adalah film Mahabate yaitu film kegemaranku. Aku tidak berani masuk nonton di kamar itu tanpa dipanggil, meskipun aku ingin sekali nonton film itu. Bersamaan dengan puncak keinginanku, tiba-tiba,
“Kak, suka nggak nonton filmnya Mahabate?” teriaknya dari dalam kamar tidurnya.
“Wah, itu film kesukaanku, tapi sayangnya TV-nya dalam kamar,” jawabku dengan cepat dan suara agak lantang.
“Masuk saja di sini kak, tidak apa-apa kok, lagi pula kita ini kan sudah seperti saudara dan sudah saling terbuka” katanya penuh harap.
Lalu saya bangkit dan masuk ke dalam kamar. Iapun persilahkan aku duduk di pinggir tempat tidur berdampingan dengannya. Aku agak malu dan takut rasanya, tapi juga mau sekali nonton film itu. Awalnya kami biasa-biasa saja, hening dan serius nontonnya,
Tapi baru sekitar setengah jam acara itu berjalan, tiba-tiba ia menawarkan untuk nonton film dari VCD yang katanya lebih bagus dan lebih seru dari pada filmnya Mahabate, sehingga aku tidak menolaknya dan ingin juga menyaksikannya. Aku cemas dan khawatir kalau-kalau VCD yang ditawarkan itu bukan kesukaanku atau bukan yang kuharapkan.
Setelah ia masukkan kasetnya, iapun mundur dan kembali duduk tidak jauh dari tempat dudukku bahkan terkesan sedikit lebih rapat daripada sebelumnya. Gambarpun muncul dan terjadi perbincangan yang serius antara seorang pria dan seorang wanita Barat, sehingga aku tidak tahu maksud pembicaraan dalam film itu.
Baru saja aku bermaksud meminta mengganti filmnya dengan film Mahabate tadi, tiba-tiba kedua insan dalam layar itu berpelukan dan berc*uman, saling meng*sap l*dah, berc*mbu rayu, menj*lat mulai dari atas ke bawah, bahkan secara perlahan-lahan saling menel*njangi dan mer*ba,
Sampai akhirnya saya menatapnya dengan tajam sekali secara bergantian menj*lati kem*luannya, yang membuat jantungku berdebar, tongkatku mulai teg*ng dan membesar, sekujur tubuhku gemetar dan berkeringat, lalu sedikit demi sedikit aku menoleh ke arah wanita disampingku yakni istri teman lamaku.
Secara bersamaan iapun sempat menoleh ke arahku sambil tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke layar. Tentu aku tidak mampu lagi membendung b*r*hiku sebagai pria normal, namun aku tetap takut dan malu mengutarakan isi hatiku.
“Mas, pak, suka nggak filmnya? Kalau nggak suka, biar kumatikan saja,” tanyanya seolah memancingku ketika aku asyik menikmatinya.
“Iiyah, bolehlah, suka juga, kalau adik, memang sering nonton film gituan yah?” jawabku sedikit malu tapi mau dan suka sekali.
“Saya dari dulu sejak awal perkawinan kami, memang selalu putar film seperti itu, karena kami sama-sama menyukainya, lagi pula bisa menambah ga*rah se* kami dikala sulit memunculkannya, bahkan dapat menambah pengalaman berh*bungan, syukur-syukur jika sebagian bisa dipraktekkan.
“Sungguh kami ketinggalan. Saya kurang pengalaman dalam hal itu, bahkan baru kali ini saya betul-betul bisa menyaksikan dengan tenang dan jelas film seperti itu. Apalagi istriku tidak suka nonton dan praktekkan macam-macam seperti di film itu,” keteranganku terus terang.
“Tapi kakak suka nonton dan permainan seperti itu khan?” tanyanya lagi.
“Suka sekali dan kelihatannya n*kmat sekali yach,” kataku secara tegas.
“Jika istri kakak tidak suka dan tidak mau melakukan permainan seperti itu, bagaimana kalau aku tawarkan kerjasama untuk memperaktekkan hal seperti itu?” tanya istri teman lamaku secara tegas dan berani padaku sambil ia mendempetkan tubuhnya di tubuhku sehingga bisikannya terasa hangat nafasnya dipipiku.
Tanpa sempat lagi aku berfikir panjang, lalu aku mencoba merangkulnya sambil menganggukkan kepala pertanda setuju. Wanita itupun membalas pelukanku. Bahkan ia duluan menc*um pipi dan bib*rku, lalu ia masukkan lid*hnya ke dalam mulutku sambil digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan, akupun membalasnya dengan lahap sekali.
Aku memulai memasukkan tangan ke dalam bajunya mencari kedua pay*daranya karena aku sama sekali sudah tidak mampu lagi menahan b*r*hiku, lagi pula kedua benda keny*l itu saya sudah hafal tempatnya dan sudah sering memegangnya. Tapi kali ini, rasanya lain daripada yang lain, sedikit lebih mulus dan lebih keras dibanding milik istriku.
Entah siapa yang membuka baju yang dikenakannya, tiba-tiba terbuka dengan lebar sehingga nampak kedua benda k*nyal itu tergantung dengan menantang. Akupun memperaktekkan apa yang barusan kulihat dalam layar tadi yakni menj*lat dan meng*sap put*ngnya berkali-kali seolah aku mau mengeluarkan air dari dalamnya.
Kadang kugig*t sedikit dan kukunyah, namun wanita itu sedikit mendorong kepalaku sebagai tanda adanya rasa sakit.
Selama hidupku, baru kali ini aku melihat pemandangan yang indah sekali di antara kedua p*ha wanita itu. Karena tanpa kesulitan aku membuka sarung yang dikenakannya, langsung saja jatuh sendiri dan sesuai dugaanku semula ternyata memang tidak ada pelapis kem*luannya sama sekali sehingga aku sempat menatap sejenak kebersihan v*gina wanita itu.
Putih, mulus dan tanpa selembar bulupun tumbuh di atas gundukan itu membuat aku terpesona melihat dan mer*banya, apalagi setelah aku memberanikan diri membuka kedua bib*rnya dengan kedua tanganku, nampak benda kecil menonjol di antara kedua bib*rnya dengan warna agak kemerahan.
Ingin rasanya aku telan dan makan sekalian, untung bukan makanan, tapi sempat saya lahap dengan lid*hku hingga sedalam-dalamnya sehingga wanita itu sedikit menjerit dan terengah-engah menahan rasa nikm*tnya l*dah saya, apalagi setelah aku menekannya dalam-dalam.
“Kak, aku buka saja semua paka*annya yah, biar aku lebih leluasa menikm*ti seluruh tubuhmu,” pintanya sambil membuka satu persatu paka*an yang kukenakan hingga aku tel*njang bulat. Bahkan ia nampaknya lebih tidak tahan lagi berlama-lama memandangnya.
Ia langsung serobot saja dan menj*lati sekujur tubuhku, namun j*latannya lebih lama pada b*ji pel*rku, sehingga pinggulku bergerak-gerak dibuatnya sebagai tanda kegelian. Lalu disusul dengan memasukkan p*nisku ke mulutnya dan menggoc*knya dengan cepat dan berulang-ulang, sampai-sampai terasa sp*rmaku mau muncrat.
Untung saya tarik keluar cepat, lalu membaringkan ke atas tempat tidurnya dengan kaki tetap menjulang ke lantai biar aku lebih mudah melihat, dan menjam*hnya. Setelah ia terkulai lemas di atas tempat tidur, akupun mengangk*nginya sambil berdiri di depan gundukkan itu dan perlahan aku masukkan ujung p*nisku ke dalam v*ginanya
Lalu menggerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan maju dan mundur, akhirnya dapat masuk tanpa terlalu kesulitan.
“Dik, model yang bagaimana kita terapkan sekarang? Apa kita ikuti semua posisi yang ada di layar TV tadi,” tanyaku berbisik.
“Terserah kak, aku serahkan sepenuhnya tub*hku ini pada kakak, mana yang kakak anggap lebih n*kmat dan lebih berkesan sepanjang hayat serta lebih memu*skan kakak,” katanya pasrah.
Akupun meneruskan posisi tidur tel*ntang tadi sambil aku berdiri menggoc*k terus, sehingga menimbulkan bunyi yang agak menambah ga*rah s*xku.
“Ahh.. Uhh.. Ssstt.. Hmm.. Teeruus kak, enak sekali, koc*k terus kakak, aku sangat men*kmatinya,” demikian pintanya sambil terengah dan berd*sis seperti bunyi jangkrik di dalam kamarnya itu.
“Dik, gimana kalau saya berbaring dan adik mengangk*ngiku, biar adik lebih leluasa g*yangannya,” pintaku padanya.
“Aku ini sudah hampir memuncak dan sudah mulai lemas, tapi kalau itu permintaan kakak, bolehlah, aku masih bisa bertahan beberapa menit lagi,” jawabnya seolah ingin memu*skanku malam itu. Tanpa kami rasakan dan pikirkan lagi suaminya kembali malam itu, apalagi setelah jam menunjukkan pukul 9.30 malam itu, aku terus berusaha menumpahkan segalanya dan betul-betul ingin men*kmati pengalaman bersejarah ini bersama dengan istri teman lamaku itu.
Namun sayangnya, karena keasyikan dan keseriusan kami dalam bers*tubuh malam itu, sehingga baru sekitar 3 menit berjalan dengan posisi saya di bawah dan dia di atas memompa serta mengg*yang kiri kanan pinggulnya, akhirnya sp*rmakupun tumpah dalam rah*mnya dan diapun kurasakan bergetar seluruh tubuhnya pertanda juga memuncak ga*rah s*xnya.
Setelah sama-sama puas, kami saling berc*uman, berangkulan, berj*latan tubuh dan tidur terl*ntang hingga pagi. Setelah kami terbangun hampir bersamaan di pagi hari, saya langsung lompat dari tempat tidur, tiba-tiba muncul rasa takut yang mengecam dan pikiranku sangat kalut tidak tahu apa yang harus saya perbuat.
Saya menyesal tapi ada keinginan untuk mengulanginya bersama dengan wanita itu. Untung malam itu suaminya tidak kembali dan kamipun berusaha masuk kamar mandi membersihkan diri. Walaupun terasa ada ga*rah baru lagi ingin mengulangi di dalam kamar mandi,
Namun rasa takutku lebih mengalahkan ga*rahku sehingga aku mengurungkan niatku itu dan langsung pamit dan sama-sama berjanji akan mengulanginya jika ada kesempatan. Saya keluar dari rumah tanpa ada orang lain yang melihatku sehingga saya yakin tidak ada yang mencurigaiku.