Penjaga dan Kisah di Balik Pohon Besar

Posted on

Penjaga dan Kisah di Balik Pohon Besar

Di usianya yang baru 25 tahun, Rini sudah menjadi seorang Dokter. Telah menikah dengan Aditya, yang juga seorang Dokter. Usia Rini terpaut tiga tahun dari suaminya Pasangan ini belum dikaruniai anak,mereka baru menikah selama 2 tahun.

Suatu hari, Rini di khabari oleh kerabatnya bahwa neneknya yg berada di kota Solo telah meninggal dunia. Berita itu sangat membuatnya sedih karena sang nenek lah yang membesarkannya dan mendidiknya. Karena saat ia berusia 12 tahun, Rini telah di tinggalkan kedua orang tuanya yang t*was saat kecelakaan mobil

Keluarganya terbilang keluarga yang berada dan berdarah ningrat. karena tidak ada yang mewarisi kekayaan orang tuanya, juga harta yang ditinggalkan neneknya. Rini menjadi pewaris tunggal harta harta itu. Salah satunya adalah sebuah Villa yang berada di daerah wisata Tawangmangu.

Setelah pemakaman neneknya dan bersilaturahmi dengan kerabatnya maka Rini pun berkunjung ke villa neneknya di Tawangmangu itu. Dihari yg telah di rencanakannya itu Rini bersama suaminya Aditya mengunjungi villanya itu.

Villa yang besar itu, selama ini di jaga oleh Parjo. Usianya kira kira 55 tahun. Seorang laki laki penduduk sekitar yang telah cukup lama bekerja pada neneknya. Parjo juga di beri amanah untuk mengurus villa dan perkebunan keluarga itu.

Hari itu, seperti yang direncanakan Rini dan suaminya akan bermalam disitu untuk beberapa hari. Kebetulan mereka telah mengambil cuti. Pasangan ini pun selalu terkesan amat mesra dan romantis. Maklum mereka pasangan muda, yang belum lama menikah.

Sore hari itu, Rini dan suaminya di temani Parjo berkeliling, Villa besar itu. Di kebun belakang villa itu, dekat paviliun, tempat Parjo tinggal, mata Rini menangkap, image pohon besar, yang rindang.

Dengan akar akarnya yang sebagian keluar dari dalam tanah. seperti tak terawat. Di sana ada taburan bunga bunga.
“pak Parjo, pohon apa ini, koq tampaknya tak terawat”; tanya Rini.
“oh, ini pohon sudah tua sekali, yah memang dari dulu sudah begitu, dari zaman eyang non Rini”; jawab Parjo.

“wah, sepertinya merusak pemandangan, tebang saja pak Parjo”; kata Rini lagi.
“Ooh JANGAN.. “jawab pak Parjo keras.
Rini terkejut mendengar jawaban pak Parjo. Suaminya juga menatap pak Parjo.

“; Maaf, maksud saya, eyang non pernah berpesan, tidak boleh di tebang”; jawab pak Parjo.
Rini diam saja, kemudian, berjalan kembali ke depan, bersama suaminya.
“; mas, aku gak suka sama pohon itu, bulu kudukku merinding, sepertinya ada sesuatu di situ”; ujar Rini pada suaminya.
“Rini, Rini, makanya kalau nonton TV, jangan acara mistis yang di tonton, kamu itu seorang dokter, pakai logika dong”; jawab suaminya enteng.
Rini menatap suaminya, matanya melotot.

Suaminya pun tersenyum, lalu mel*mat bibir Rini,
“; ah, udeh deh..”; kata Rini.
“yah sudah, kalau gak suka yah kamu tebang saja, nanti..”; kata Suaminya.

Udara dingin, di kawasan itu, membuat mereka berc*mbu di malam itu. Di mulai dengan c*uman c*uman mesra dari suaminya, serta r*baan lembut di p*ha mulus Rini. Baju tidur Rini, tanpa terasa, mulai tersingkap.

Menampakkan kedua p*ha mulusnya, serta pangkal p*hanya yang masih terbalut c*lana d*lam putih. Bukan hanya mata suaminya yang melihat, tanpa sepengetahuan mereka ada sepasang mata yang mengintip, sepasang mata milik Parjo.

Satu sentuhan jari Suaminya, di sel*ngk*ngan Rini, membuatnya mend*sah keras. Jari itu terus bermain di atas cel*na d*lamnya. Bercak bercak basahan mulai tampak di sel*ngk*ngan cel*na d*lam Rini.

Dengan cepat Rini melepas baju tidurnya, menyodorkan buah d*d*nya yang bulat padat, dengan putt*ng memerah, telah menonjol keras, ke mulut suaminya.

“mas, mau net* dong.. “kata Rini dengan n*fsu.
Mulut Suaminya, pun meny*dot putt*ng s*s*nya.
“ohhh ” mas.. Rini, n*fsu mas.. enak””; *rangnya.

Suara suara erotic Rini, membuat Parjo yang mendengar samar samar, membuatnya mer*ba r*ba sel*ngk*ngannya sendiri. Aditya, masih saja, menj*lati dan meny*dot b*ah d*d* istrinya, begitu juga jarinya yang masih terus, mer*ngs*ng sel*ngk*ngannya.
“mas, celana Rini, di buka aja..”; pintanya. Suaminya lalu melepas cel*na d*lam istrinya. Dan melihat v*gina, dengan bulu bulu, di atasnya. Bibir v*gina yang rapat, dan basah. Suaminya sudah mengerti kebiasaan Rini.

Setelah tubuh Rini, bugil total, Aditya, merenggangkan ke dua belah kakinya. Lalu, dengan l*dahnya, dia menj*lati v*gina istrinya, dengan lembut. “mass, ahh.. Rini.. enak.. . mass””; erangnya. Suaminya terus menj*lati v*gina istrinya.

Jari jarinya juga tak tinggal diam, jari itu bergerak memasuki l*ang v*gina istri tercintanya maju dan mundur, bergetar lembut, membuat Rini, semakin mend*sah d*sah, menuju puncak b*rahinya. L*dahnya bermain di kl*torisnya, sedang jarinya terus mencolok colok l*ang v*ginanya yang semakin basah.

“; ahh “. Mas, Rini udah gak kuat ” ahhh”; erang Rini, yang semakin mendekati fase org*smenya. J*latan suaminya semakin l*ar, tubuh Rini pun bergetar, mengejang, satu *rangan panjang, membawanya ke puncak kenikmatannya.

Saat, Rini terbaring lemas, Aditya membuka pakaiannya. Pen*snya tampak sudah t*gang. Tanpa perlu komando, Rini segera membelai belai pen*s suaminya itu, menj*lati ujung pen*snya yang t*gang, membuat suaminya mengerang nikmat. Rini pun meng*lum kepala pen*s suaminya, dengan n*fsu.

Kepala Rini, bergerak, maju mundur, dan pen*s itu mendapat kenikmatan yang tinggi. “oh.. sayang” ohh””; *rang suaminya. Permainan Rini yang begitu, hebat, membuat suaminya melepas benihnya di mulutnya.

Tak satu tetes yang lepas dari mulut Rini, semuanya tertelan habis. Kini mereka berbaring bersama, Rini pun kembali menc*umi suaminya. Mereka berc*mbu kembali, sampai pen*s Aditya, siap kembali untuk permainan babak kedua.

Kembali Rini, membuka lebar kakinya, memperlihatkan v*gina indah miliknya. Suaminya sudah siap, dengan pen*snya yang telah meneg*ng, tepat di depan pintu v*gina Rini. Perlahan pen*s itu masuk membelah bib*r v*gina Rini.

“; oh tekan ” terus mas ohhh”; *rang Rini.
Dorongan, demi dorongan, dari pen*s suaminya, terus membawa kenikmatan bagi Rini, Pant*t indahnya ikut bergoyang, selaras dengan goyangan suaminya.

Pen*s Aditya terus bergerak keluar masuk, di iringin d*sah d*sah erotis dari bib*r indah Rini. Walau udara dingin, tapi peluh tampak membasahi dahi Aditya.
“; ohh, Rini aku gak tahan lagi nih “”; kata suaminya.
Goyangannya pun semakin l*ar, dan akhirnya tubuhnya ambruk, menindih tubuh istrinya. Dan v*gina Rini pun di siram benih benih cinta mereka. Kedua insan itu pun lemas, mereka tertidur, berpelukan di bawah selimut tebal.

Pagi pagi sekali, Aditya telah terlihat, berjogging di sekeliling villa. Dan Rini, hanya melihat, pemadangan sekeliling villa itu, sambil berjalan pelan. Tiba tiba, matanya kembali menatap, pohon besar yang terlihat angker itu.

Tiba tiba Rini meraih kempak, yang tergeletak bersama cangkul milik Parjo. Sambil menentang kapak itu, Rini mendekati pohon itu. Saat itu terdengar teriakan Parjo”; jangannn”. “. Terlambat, kampak itu telak membacok dahan pohon besar itu, kulit pohon itu terluka.

Rini terdiam, matanya menatap dahan itu mengeluarkan darah segar. Parjo berlari menghapiri Rini”; kan sudah saya bilang pohon ini tak boleh di gangu”; kata Parjo dengan nada tinggi. Rini tak mengubris ocehan Parjo, matanya terus menatap dahan itu yang mengeluarkan darah.

“kenapa Rin, ada apa, koq bengong begitu”; tanya Aditya. “darah.. darah.. “jawab Rini dangan suara bergetar.
Aditya menghampiri pohon itu, melihat lebih jelas, jarinya mencolek darah itu, menciumnya”; Rin, ini cuma getah pohon.. kenapa kamu ?”; kata Aditya.

“; Lihat, masa harus aku bawa ke lab, untuk membuktikannya, ini getah pohon, warnanya kecoklatan, lihat”; kata Aditya sambil memperlihatkan jarinya yang berlumuran getah pohon itu. Rini pun berjalan, menuju villanya, dia masuk kamar, duduk dengan tenang di pinggir ranjang.

“mas, aku merasa ada sesuatu, tentang pohon itu”; ujar Rini. “sudah sudah, tenang aja, tidak ada apa apa koq, hanya perasaan kamu saja..”; kata suaminya berusaha menenangkan Rini.
Malam hari itu, setelah makan malam, pasangan suami istri itu, masuk ke kamar.

Aditya, berbaring di samping Rini. Tangan Rini mengelus elus d*d* suaminya, tapi sayangnya suaminya sepertinya tak mood malam itu. “Rin, besok saja yah, aku ngantuk sekali”; kata Aditya. Rini hanya tersenyum.

Sebentar saja, Aditya telah tiba di alam mimpinya. Sedang mata Rini masih terbelak lebar. Dia hanya diam, matanya menatap langit langit kamarnya. Tiba tiba Keanehan terjadi, Rini merasakan adanya suara suara yang memanggilnya.

Namun ia tidak melihat wujut suara itu. Dengan memanfaatkan indra, pendengarannya, Rini memberanikan diri, melangkahkan kakinya, mencari sumber bunyi itu. Dia berjalan keluar kamar, suara itu semakin jelas, kakinya terus melangkah, ke arah belakang, suara semakin jelas, dan Rini tiba di pohon angker itu.

Pohon itu tampak bersinar ke hijauan. Jelas terlihat Parjo duduk bersila di bawah pohon rindang itu, Rini diam terpaku.
“Rinnni, ke mari mendekatlah”; demikian suara magis itu memanggilnya. Rini pun melangkah dengan gontai.

Setelah tubuhnya mendekat pohon itu, Ranting pohon itu bergerak, melilit tangan dan kakinya. Rini tak bisa bergerak. Lilitan pohon sangat kuat, Parjo pun berdiri, dengan wajahnya yang memerah, dan menyeringai seram.

Dia mengambil dahan dari pohon angker itu. Satu sabetan telak mendarat di perutnya. Rini menjerit kesakitan, sabetan itu terasa begitu panas dan menyakitkan.
“Ampun.. tolong lepaskan””; erang Rini.

“Aku sudah bilang, jangan gangu pohon ini, kenapa kamu masih nekat”; suara Parjo terdengar lantang.
“Maaf, ampun, saya tidak ganggu lagi, tolong lepaskan saya.. “Pinta Rini. Tapi yang di dapat, satu sabetan dahan pohon itu lagi, kali ini punggungnya terasa panas.

“Sakit” ampunn”.”; jerit Rini.
Parjo menyeringai sadis, tanganya meraik gaun tidur Rini, merobeknya hingga lepas dari tubuhnya. Mata Parjo l*ar menatap b*ah d*d* Rini yang indah itu.

Bekas luka sabetan dahan itu pun jelas terlihat, memanjang di perutnya. L*dah Parjo menjulur, menj*lat bekas luka itu, Rini kembali menjerit jerit”; perih.. ampun” perih”.”; *rangnya.
Parjo pun, menj*lati luka di punggung Rini, membuat Rini mengeluarkan air mata, karena rasa pedih.

Luka itu bagai terkena tetesan jeruk nipis. Parjo benar benar menyiksa Rini. Tubuh Rini terasa lemas, karena menangggung beban pedih itu. Puas dengan siksaannya, Parjo membiarkan tubuh Lemah Rini, yang berdiri, terikat ranting pohon angker itu.

Tiba tiba, lidah Parjo menj*lati putt*ng s*s* Rini. Seketika itu juga, b*rahi Rini menjadi tinggi. Rini mend*sah kenikmatan. L*matan mulut Parjo pada b*ah d*d* Rini semakin membuatnya bern*fsu. Sel*ngk*ngan Rini mulai terasa lembab.

Tangan Parjo, perlahan menurunkan cel*na d*lamnya. Dan tiba tiba, jari Parjo menyentuh v*ginanya, Parjo tersenyum, merasakan basah v*gina Rini. Dan tubuh Rini bagai terkena sengatan listrilk, tubuhnya bergetar, kenikmatan.

“Rini.. Rini.. kamu suka ” kamu suka Rini..”; ujar Parjo. Yang hanya bisa di jawab oleh d*sahan d*sahan Rini.

Jari Parjo pun menerobos masuk l*ang v*gina Rini, membuat Rini menjerit. Mulut Parjo mel*mat b*ah d*d* indah milik Rini, sedang jarinya bermain dengan l*ar, di dalam l*ang v*ginanya. Tubuh Rini tak mampu menahan nikmat yang di berikan Parjo.

Sebentar saja, Parjo telah membawa Rini ke puncak b*rahinya. Tubuh Rini mengejang, kemudian dia lemas. Tubuhnya akan ambruk, tapi dahan pohon itu menahan tubuhnya erat. Parjo pun melepas celananya, memperlihatkan pen*snya yang hitam, besar dan panjang.

“apa, apa yang, kau kau lakukan””; kata Rini terbata bata. Parjo tersenyum sinis, Tubuhnya mendekat, sebelah kaki Rini dengan mudah di angkatnya, dan dengan sekali hentak, pen*s besarnya telah masuk ke dalam tubuhnya. Rini menjerit keras.

“Sakkitttt”; jeritnya. Parjo hanya tersenyum, senyum kenikmatan. Pen*s itu bergerak ke luar masuk dengan l*ar, membuat tubuh Rini terguncang keras. Rini menjerit kesakitan, v*ginanya tak terbiasa dengan pen*s besar itu.

Tapi Parjo terlihat jelas, sangat menikmati tubuh Rini. Dia terus mengoyangkan pen*snya. Rini merasakan adanya perubahan, rasa sakitnya hilang, sepertinya v*ginanya tiba tiba merasakan nikmat pen*s Parjo. Rini mengigit bib*rnya, rasa nikmat itu dengan cepat menyerang tubuhnya.

Rini tak kuasa, dia mengerang, kenikmatan, seakan akan memberitahukan Parjo, dia menikmati permainan ini. Tubuhnya bergoyang, kepalanya bergerak ke kiri dan kekanan. Parjo terus mengoyang pen*snya.

“ahhh ” ahhh.. aku tak tahan” aku tak tahan””; tiba tiba Rini mengerang. Dan tubuhnya kembali meng*jang, meng*jet. Rini org*sme, dan terus Parjo memacu pen*snya di dalam l*ang v*gina Rini. Parjo mendengus dengus, menikmati v*gina Rini.

Tak lama Rini pun kembali mendapat org*sme, yang kemudian di susul oleh Parjo. Rini bisa merasakan jelas, panasnya cairan b*rahi Parjo, memasuki rahimnya. Parjo yang telah puas melepaskan tubuh Rini.

Dia tersenyum, Tangannya telah kembali memegang dahan yang tadi di gunakan untuk menyabet tubuhnya.
“jangan, tolong jangan pukul”; ibanya.
Parjo tersenyum, tangannya mengusap usap dahan pohon itu, tiba tiba saja, dahan pohon itu membesar.

Lebih besar dari pen*s Parjo.
“kamu bersalah, kamu mesti merasakan hukuman ini”; hardik Parjo. Parjo kembali mengangkat sebelah kaki Rini.
Dahan pohon yang besar itu di sodok keras ke v*ginanya. Rini menjerit keras, V*ginanya terluka, berdarah. Rini menjerit kesakitan. “AHHHH”. SAKITTTT “.”;.

Rini terjaga, tubuhnya berkeringat, suaminya pun menenangkannya. Paginya diam diam, dia menganalisa kejadian semalam, semuanya tampak nyata, tapi dia bermimpi. Tidak ada bekas luka di perut, atau punggungnya.

Yang ada jelas, sisa sisa sp*rma yang membasahi v*ginanya. Rini jelas bisa membedakan antara sp*rma dan cairan v*ginanya. Dia benar benar binggung dengan fenomena ini.

“; mas, saya pikir lebih baik menjual villa ini”; kata Rini, yang mebuat suaminya mengenyitkan dahinya.
“jual, kamu gak salah, villa ini peninggalan eyang kamu, masa sih mau di jual?”; suaminya bertanya dengan binggung.

“; yah, aku serius, bisa bantu aku pasarin villa ini”; kata Rini lagi.
“yah bisa saja sih, tapi apa kamu yakin mau menjualnya?”; tanya suaminya lagi.
“yah”; jawab Rini singkat

“; silakan bu, pak, di minum selagi hangat”; kata Parjo yang membawakan dua cangkir t*h hangat. Mata Parjo, menatap Rini. Tatapannya itu membuat Rini, tampak t*gang, ada sesuatu kekuatan kasat mata, dalam tatapannya.

HP Aditya berbunyi, rupa kabar dari rumah sakit tempatnya bekerja. Rupanya ada pasien gawat yang harus segera ditangani Aditya. Padahal Aditya masih berkeinginan untuk tinggal di sana bersama Rini 3-4 hari lagi.

Suaminya menanyakan pada Rini, mau ikut, atau masih mau di sini. Rini memutuskan untuk tetap di villa itu. Akhirnya Aditya berangkat ke Semarang sendirian. Aditya pun berpesan pada Rini untuk hati hati dan minta Parjo menjaga Rini.

Parjo pun dengan senang hati menerima pesan Aditya itu. Setelah Aditya berangkat pagi itu, Rini pun minta pak Parjo menemaninya meninjau perkebunan milik neneknya. Rini memberanikan diri, toh dia berpikir, ini siang hari, jadi lebih aman.

Parjo yang selama ini di beri tugas mengawasi perkebunan itu bersedia mengantar Rini, dengan menaiki bukit yang dipenuhi batang batang kayu yang rindang itu. Selama perjalanan Parjo bertindak sangat sopan dengan Rini.

Mereka berbicara santai, dan anehnya Rini merasa tenang di samping Parjo. Dan Rini mulai merasa suka dengan sikap Parjo, yang jika dilihat dari umurnya, pantas menjadi ayahnya.

Merekapun kembali pulang ke villa dengan menuruni bukit bukit itu. Namun karena kurang hati hati, Rini terpeleset di jalan yang berumputan yang licin karena embun. Dengan sigap, Parjo refleks menangkap tubuh Rini yang hampir bergulingan ke bawah.

Tubuh ramping dan berisi itu,jatuh kedalam pelukannya. Selanjutnya karena takut terpeleset lagi Rini pun minta Parjo untuk membimbing tangannya dengan memegangnya selama penurunan. Kembali Parjo merasakan kehalusan dan kehangatan tangan dokter cantik itu dengan bebas.

Malam harinya, Parjo masuk kedalam ruang utama villa itu. Ia menemukan Rini yang sedang menerima telpon dari suaminya. Mata Parjo menatap tubuh Rini, yang terlihat s*xy, dengan gaun tidur pink, agak tipis.

Setelah pembicaraannya selesai, Rini bertanya pada Parjo
“ada apa pak Parjo”;.
“oh engak bu, hanya mengecek, sepertinya kemarin ada bola lampu yang putus”; jawab Parjo.

Setelah selesai Parjo mengecek, lampu lampu di ruang utama itu, Parjo pamitan. Tapi Rini memanggilnya. Pak Parjo menghentikan langkahnya. Dan berbalik
“ada apa bu..”;.
“ah, engak cuma mau tanya sedikit”; kata Rini, sambil duduk di kursi, antik yang terbuat dari kayu jati.

Mata Parjo menatap, p*ha putih Rini, yang agak terbuka, karena gaun tidur itu terangkat sedikit. Tapi Rini segera mengantipasi, dia mengabil bantal, sandaran kursi, dan menutup p*hanya.

“pak Parjo, saya merasakan ada misteri di balik pohon tua itu, apa pak Parjo menyadarinya?”; tanya Rini.

“eh, anu, kalau soal itu saya kurang tahu bu, yang saya tahu, eyang bu Rini, wanti wanti pesan sama saya apapun yang terjadi, pohon itu tak boleh di ganggu”; pak Parjo menjawab pertanyaan Rini panjang lebar.

Rini pun mendengar keterangan Parjo dengan seksama, Rini juga bertanya tentang mimpi anehnya. Rini bercerita secara detail, membuat Parjo terperangah.
“Maksud ibu, saya memp*rkosa ibu dengan batuan pohon angker itu?”; tanya Parjo.

“yah, dalam mimpi itu, tapi mimpi itu begitu nyata”; jawab Rini.
Parjo menghela nafas,”; saya rasa itu cuma bunga tidur bu..”; ujar Parjo.
“tidak Parjo, otak saya masih mampu berpikir, realistis, ini mimpi yang benar benar aneh”; kata Rini.

Parjo diam sesaat, dia menatap Rini, akhirnya dia membuka suara, Parjo mengakui bahwa di villa ini memang ada penunggunya,namun karena telah sering dan lama tinggal di situ ia pun tidak terganggu lagi.

Mereka terus berbincang bincang, sampai agak larut, akhirnya Rini minta diri untuk istirahat karena badannya agak lelah dan mulai ngantuk. Lalu Rini masuk kekamarnya. Ia lalu menyelimuti tubuhnya yang terbaring dengan selimut tebal yang ada dikamar itu.

Beberapa saat kemudian ia tertidur. Namun tidak lama kemudian serasa bermimpi ia melihat pintu jendela kamarnya terkuak dan dahan dahan pohon angker itu merayap cepat, berusaha mendekati ranjangnya dan akan mencekiknya. Rini terbangun dan berteriak teriak minta tolong.

Rini meloncat dari ranjangnya. dan tiba tiba terbagun dari mimpinya, namun ia tak melihat dahan dahan pohon angker itu dan tidak meninggalkan jejak sama sekali. Jendela kamarnya pun tetap tertutup rapi. Mimpi buruk itu semakin membuatnya takut.

Rini yg masih di hinggapi perasaan takut lalu keluar dari kamarnya. Ia berlari dan membuka pintu rumah. Rini langsung berlari ke belakang, mengetuk pintu kamar Parjo. Rini tak berani melihat ke arah pohon angker itu. Begitu daun pintu terbuka,Rini langsung menghambur ke tubuh Parjo dan memeluknya.

Dengan sangat takut ia menangis dan menceritakan apa yang baru saja di alaminya. Parjo dengan bebas lalu membelai rambut Rini. mendudukkan Rini di kursi yang ada di dalam kamarnya. Malam itu Rini tak berani pindah ke dalam kamarnya di rumah villa itu. Rini merasa lebih aman di kamar tidur Parjo.

Seiring malam yang merangkak, Rini kini telah pindah posisi, tidak lagi duduk di kursi, tapi duduk tepat di sebelah Parjo di pingir ranjang. Sambil terus membelai rambut sebahu Rini, Parjo pun mulai berani berbuat lebih.

Entah karena udara dan suasana yang dingin atau kesepian Rini yang datang tiba tiba. Parjo tiba tiba saja telah meng*lum bib*r Rini. Tanpa menolak, Rini membalas c*uman Parjo, Mata Rini memejam, l*dah Rini dengan nakal bermain lincah di dalam mulut Parjo.

Tentu saja semuanya di layani Parjo dengan n*fsu. Seperti ada yang merasuki tubuhnya, tangan Rini mer*ba r*ba sel*ngk*ngan Parjo, mencari cari pen*s besarnya, tanpa rasa ragu ataupun malu.

Satu tatapan, tajam bola mata Parjo, memerintahkan Rini berbuat lebih. Sambil berjongkok, melebarkan kakinya, Rini meng*lum pen*s Parjo. yang telah er*ksi keras. Mata Parjo liar, menatap sel*ngk*ngan Rini yang masih terbungkus cel*na d*lam pinknya.
Rini tak memperdulikannya, yang jelas, Rini sangat menikmati, mengulum batang penis Parjo. Parjo pun meng*rang, menikmati sed*tan, dan j*latan n*fsu Rini. Tanpa merasa lelah, kepala Rini bergerak maju mundur, memberi Parjo kenikmatan.

Usaha Rini tak sia sia, Semburan sp*rma Parjo, memenuhi mulutnya, Semua Sp*rmanya, di telan habis oleh Rini, seperti tanah tandus, yang membutuhkan siraman air, di musim kemarau. Parjo tersenyum puas, Dia mengangkat, tubuh Rini, melepas baju tidurnya.

Dan menatap b*ah d*d* bulat padat Rini. Kedua tangan Parjo, mer*mas buah d*d* Rini, membuat dia mengerang. Dan j*latan l*dah Parjo, di putt*ng s*s*nya membuat b*rahi Rini semakin meninggi.

Tubuh Rini di baringkan, Parjo pun melepas c*lana d*lam pink Rini. Sambil memegang c*lana d*lam pink itu, Parjo melihat sel*ngk*ngan cel*na d*lam pink itu. “hem, anak muda zaman sekarang, baru di j*lat sedikit udah basah..”; seloroh Parjo.
Muka Rini memerah, dia malu, tapi b*rahinya mengalahkan semua rasa malunya. Rini mendapat org*smenya, di sertai jeritan nikmat Rini. Parjo tersenyum puas, melihat tubuh Rini, meng*jang, dengan nafas tersengal sengal.

Selama beberapa hari kemudian menjelang di jemput suaminya Rini selalu ditemani Parjo. Rini pun akhirnya berani tidur dikamarnya itu karena ada yg menemaninya yaitu Parjo. Selama Parjo menemaninya, Rini selalu di hibur Parjo dengan kemesraan dan menghantarkannya ke puncak hubungan pria dan wanita seutuhnya.

Parjo pun dengan bebas telah menumpahkan ca*ran b*rahinya di dalam r*him Rini. Rini mengurungkan, niat untuk menjual villa warisan itu. “nah, aku juga bilang apa, masa villa warisan di jual”; ujar suaminya, saat akan menjemput istrinya.

“Terima kasih Parjo, minggu depan aku akan kemari”; ujar Rini. Parjo pun tersenyum, dan mengangkat koper besar itu membawanya, dan meletakkan di bagasi mobil mereka. Pasangan suami istri segera melaju pulang.

 

Rini menyadari telah berbuat curang pada Aditya. Tapi, belum pernah dia bermain s*x, sedasyat ini. Rini selalu ingin mengulangi lagi, pers*tubuhan dengan Parjo. Rini selalu merindukan ke hangatan Parjo.